
Juliet:
"What's in a name? That which we call a rose
By any other name would smell as sweet."
Romeo and Juliet (II, ii, 1-2)
Romeo Montague and Juliet Capulet meet and fall in love in Shakespeare's lyrical tale of "star-cross'd" lovers. They are doomed from the start as members of two warring families. Here Juliet tells Romeo that a name is an artificial and meaningless convention, and that she loves the person who is called "Montague", not the Montague name and not the Montague family. Romeo, out of his passion for Juliet, rejects his family name and vows, as Juliet asks, to "deny (his) father" and instead be "new baptized" as Juliet's lover. This one short line encapsulates the central struggle and tragedy of the play.
Saya tidak pernah tahu kenapa orang tua saya memberi nama Vivera. Yang saya tahu hanyalah bahwa dalam bahasa Perancis ada kata “vivre” yang berarti “hidup”. Dan bentuk future dari kata tersebut untuk orang ketiga tunggal adalah “vivra”. Mungkin itulah arti nama saya.
Saya percaya bahwa ketika anak-anak mereka lahir, setiap orangtua mempunyai doa dan harapan baik yang kerap diungkapkan dalam nama yang diberikan (anda tahu bahwa di suatu daerah di Sumatra, penamaan bayi berdasarkan benda yang dilihat oleh orangtuanya ketika si bayi dilahirkan, jadi jangan heran kalau bertemu seseorang yang bernama Meja, Kursi, ataupun Kecap, ehehehe).
Sebetulnya menurut pendapat saya, penamaan seseorang itu untuk membedakan panggilan dirinya dengan orang lain, supaya tidak saru, supaya tidak terlalu banyak orang bernama “Eh” karena kepada setiap orang kita akan bilang: “Eh, ….bla bla bla”, heuheu.
Saya setuju dengan Shakespeare, “apa artinya sebuah nama, bunga mawar itu, meski berganti nama, tetap akan mengeluarkan keharuman dan kecantikan yang sama”.
Tuh anda bisa lihat dalam adegan yang saya kutip di atas, betapa menderitanya Juliet, yang mencintai seorang anggota keluarga Montague, keluarga yang justru berseteru dengan keluarganya.
“Gue gak cinta nama Montague, dan juga bukan mencintai clan Montague, gue cuma cinta lo yang kebetulan punya nama belakang itu. Hmh!!”, kira-kira begitu deh yang dibilang Juliet kalau dia gadis Indonesia seusia Cinta Laura, heuheu.
Saya tidak menafikan nama yang diberikan orangtua kepada seseorang, dan juga bukannya tidak menghargai asal-usul seseorang (bukankah ini yang selalu didengungkan sebagai “bobot-bibit-bebet”, hmmm). Saya cuma sedikit heran, kenapa sih ada orang-orang yang setiap kali memperkenalkan dirinya sebagai putra pejabat anu, atau adik sepupu dari masih kerabat kakeknya bangsawan anu, atau anggota clan anu yang bisa membuat orang takut atau terkagum-kagum?
Kenapa banyak sekali yang berpijak di kaki orangtua, dan bukan di kakinya sendiri? Bukannya kalau dia pijak terus itu kaki ortu bisa jadi gepeng tak berbentuk? Gyahahaha.
Apakah kalau kita memperkenalkan nama sendiri tanpa embel-embel apapun maka orang jadi tidak tahu siapa kita, jadi berkurangkah penghargaan orang pada kita?
Kalau kita sendiri tidak menghargai diri sendiri, bagaimana orang akan menghargai kita?
Entah ya. Setiap orang punya pendapat masing-masing mengenai hal ini. Silahkan saja, saya juga tidak mau berdebat di forum, hanya ingin mengungkapkan keheranan saya. Yang jelas, saya berkawan dengan anda karena diri anda, bukan karena anda saudara sepupu jauhnya Fulan atau adik iparnya Fulanah.
Anda pernah baca kalimat yang diucapkan Juliet dalam kesedihan dan sesalnya? Saya mendapatkannya dari kawan SMP saya, puluhan tahun silam, dan heran, kok saya masih mengingatnya dengan baik (ketahuan bahwa dulu lebih senang baca puisi ketimbang belajar, hha!):
“Ah cintaku tunggal, dari benci tunggal, tak tahu kenapa bertemu dan terlambat kenal. Alangkah malang nasibku yang memaksa, pada musuhku terbesar….aku jatuh cinta….”.
Kesian Juliet, korban nama, kenapa dong jadi anaknya Capulet? ahahaha….
No comments:
Post a Comment