Masa kecil saya adalah masa keemasan teh manis, susu dan kopi yang
disajikan di gelas belimbing, jauh dari minuman sachet dan minuman bersoda yang
sekarang menjadi hits dimana-mana. Semuanya bikin di rumah, bukan sudah
dipacking dalam botol, dalam kotak dan sebagainya. Tahu sendirilah jaman
sekarang, anak-anak dan remaja senang meminum minuman berperisa, dari yang
murah sampai yang harganya menjadi berkali lipat karena dijual di mall. Mereka
terbiasa membeli minuman botol dan kotak dimana-mana. Jajan dan makan di luar
menjadi gaya hidup yang tidak bisa lagi dihindari. Kalau punya uang banyak, ya
makan. Mereka yang tidak memiliki uang banyak, duduk saja membeli minuman. Yang
penting nongkrong, dan eksis dong.
Resahkah saya dengan gaya hidup masa kini yang suka duduk di resto dan café untuk minum? Banget. Lha, anak saya yang bungsu itu kan produk tahun 2000-an. Remaja seusia itulah yang hidup di jaman minuman botol dan sachet. Bagaimana saya tidak menjadi resah? Itu pengawet, itu gula buatan, itu pewarna. Terus mau dibawa kemana urusan menjaga kesehatan yang digaungkan dimana-mana untuk menghindari hall-hal tersebut?
Bukan apa-apa, dari ayah saya, ada turunan diabetes. Sedari remaja saya
sudah sangat sering mendengar: “Hati-hati ya jaga kesehatan, kurangi gula, kan
ada turunan”. Nah, terus kalau bukan diri sendiri, lantas siapa yang harus menjaga?
Maka, selain harus mawas dan sadar diri, jadilah saya “ibu rewel” bagi
anak-anak saya, terus mengingatkan untuk tidak sering membeli minuman di luar
rumah, terutama karena saya tahu bahwa minuman itu umumnya mengandung gula
buatan.
Ayah saya adalah seorang apoteker, dialah yang memberi tahu saya info
tentang gula buatan. Sebetulnya info itu bagi saya lebih menjadi sesuatu yang
menakutkan daripada menyadarkan. Coba saja lihat apa yang terjadi kalau terlalu
banyak mengkonsumsi gula buatan:
1.
Obesitas,
kegemukan
2.
Ketidakstabilan
kolesterol
3.
Gejala
hipertensi
4.
Diabetes
5.
Penyakit
kardiovaskular
Waaah, untuk menghindari hal-hal tersebut, berarti
saya harus kembali ke budaya lama, budaya masa kecil saya yang bikin minuman
sendiri di rumah, supaya anak-anak saya tidak ketagihan dan terbiasa beli
minuman yang mengandung pemanis buatan.
Itu mengingatkan saya pada ibu saya. “Ibu mami” sering
membuatkan saya “stroop” kalau pulang sekolah. Rasanya nyes di hati setelah
panas di jalan sepulang sekolah, apalagi dibuat oleh bunda tercinta. Apa sih
stroop? Sirup. Iya, sirup. Ibu saya kan Holland spreken, generasi yang masih
sering ngobrol dengan teman-temannya berbahasa Belanda. Jadi ya itu tadi,
menyebut sirup saja setrup.
Saya malah jadi sangat mengingat kata itu, karena
tidak umum J
Iya, kenapa tidak saya buatkan saja sirup buat anak-anak
saya di rumah? Banyak kan sirup di supermarket? Eh tapi sirup kan banyak yang
mengandung pemanis buatan juga ya? Oh okay. Berarti saya harus rajin membaca
ingredient di botol-botol sirup. Berarti akan makan waktu.
Jadi bisa dibayangkan senangnya ketika saya mendapatkan
kiriman paket dari seorang teman. Mau tau isinya? Sirup, yang tak mengandung
pemanis buatan. Wohooo, pucuk dicinta ulam tiba. Lagi kepikiran soal sirup
tiba-tiba ada yang mengirimi, sirup merah dengan rasa pisang rose. Anak-anak
saya suka sirup ini, mereka kan suka pisang.
Tiba-tiba saya jadi kebanjiran ide untuk membuat berbagai
jenis minuman dari sirup ini. Kan bisa ditambahi buah-buahan atau kelapa muda.
Tapi diminum begitu saja pun sudah enak.
Hmm, pinginnya sih sirup ini masih akan cukup sampai bulan
Ramadhan nanti, bulan puasa selalu pingin minum yang segar-segar kan untuk
berbuka? Tapi rasanya tidak yakin masih akan awet. Minuman yang enak tuh sulit
bertahan lama di kulkas, selalu sangat cepat habis.
Kalau bulan Ramadhan nanti masih pingin lagi, ya sudahlah,
beli lagi saja.
Pokoknya saya senang, sudah kembali ke budaya “mbikin-mbikin”
minuman di rumah, seperti ibu saya, dengan “stroop” merah rasa banana rose.
Foto: Vivera Siregar
Model : Kory Anggraeni
Foto: Vivera Siregar
Model : Kory Anggraeni
Perpaduan unik, Banana & Rose cocok nih buat buka puasa nanti Eda :)
ReplyDelete