Image: illustratoriumweek.blogspot.co.id |
Dulu, saya tinggal di perumahan yang jarak antar tetangga
cukup rapat, maka suara keras di rumah sebelah bisa terdengar oleh saya.
Namanya hidup di komplek, ya jaga diri, tahu diri, tidak bersuara keras, jangan
bertengkar (nanti terdengar tetangga). Kalau mau bertengkar mungkin bisa via
sms saja agar tak ada suara yang terdengar. Dengan tetangga sebaiknya menjaga
hubungan, tapi tidak usah terlalu karib juga, karena seperti keumuman hubungan
akrab, peluang ngerumpi jadi sangat besar. Pokoknya bersikap santun, tidak
kurang ajar, menyapa, tersenyum, berhubungan baik. Saya kira itu standar untuk
hubungan antar manusia agar menjadi teman baik dan tetangga yang baik.
Nah, salah satu tetangga saya, seorang bapak, selalu menjadi alarm pagi
untuk saya. Beliau membuat saya bangun dengan suaranya yang keras. Rumahnya
tepat di depan rumah saya. Dan kalau saya dengarkan ucapannya, sungguh “mengharukan”.
Beliau selalu saja tak puas dengan kondisi yang ada. Makanan kurang inilah,
anaknya salah itulah, pak RT menjengkelkan lah, bu RW genit lah, keamanan gak
bener lah. Pokoknya semua tak ada yang beres.
Bisa dibayangkan, sakitnya tuh disini setiap pagi terbangun
di pagi yang indah karena mendengar hiruk pikuk riuh rendah gegap gempita
begitu.
Mungkin
saya lebay, tapi saya yakin kok, yang mendengar dan merasa terganggu bukan
hanya saya sendiri, tetangga-tetangga lainnya kan mendengar juga. Saya yakin
bahwa tetangga lain juga merasa tak nyaman, hanya saja menahan diri karena
menjaga sopan santun, mencoba maklum karena bapak itu sudah tua.
Terkadang
saya berpikir, kasihan si bapak, hidup ini kapan bahagianya kalau semua tampak
tak baik dimatanya? Padahal bagi saya, hidup sedemikian indahnya. Bangun pagi,
melihat rumput di halaman belakang terkena cahaya matahari saja sudah senang,
bisa menghirup udara pagi saja sudah bahagia, apalagi kalau sempat
berjalan-jalan melihat bunga warna warni di halaman rumah orang sambil sedikit
tersenyum dan menyapa.
Pernah
ada seorang tetangga yang memberanikan diri menegur si bapak dengan cara yang
santun. Tahu apa yang terjadi? Besoknya di pintu rumah si bapak sudah ada
stiker yang biasa ditempel di motor, bunyinya "motor gue gimana gue, rumah
gue gimana gue, marah gue gimana gue". Lhaaa paaaak, bukannya introspeksi,
ahahaha.
Ya
sudahlah. Sejak saat itu, semua tetangga bersikap "gimana bapak
sajalah". Bicara dengan beliau sangat seperlunya, segan. Kalau bisa bahkan
menghindar. Saya sendiri, kalau dari jauh melihat si bapak, segera berbelok ke
gang kecil, cari selamat. Dan pagar depan rumah saya kemudian saya ganti dengan
tembok tinggi, kamar saya dilapisi dinding karpet agar kedap suara, jadi saya
bisa tidur nyaman dan pagi hari saya kembali indah. (Masalah pagar dan dinding
kamar itu bohong kok, hanya agar tampak dramatis saja ceritanya).
Hidup
bertetangga, menjalin hubungan baik dengan tetangga, sesungguhnya bukan hanya
ada di dunia nyata. Tapi juga di dunia maya. Tergantung kita, mau menjadi
tetangga yang santun dan baik atau mau bersikap semau gue. Itu pilihan. Kalau
saya, pilih jadi santun.
bener sekali madame, hidup bertetangga offline atau online itu tergantung kitanya mau menjadi tetangga macam apa, noted banget. Makasih
ReplyDeleteMacama Tian. Sebetulnya ini reminder untuk diri saya sendiri. Selalu senang ketemu orang yang ngotot semau gue, jadi pelajaran supaya saya "nggak berlaku seperti dia" wkwkwkwk.
DeleteHihi...jadi ingat sama kebiasaan saya dan suami. Kalau lagi marahan lewat SMS. Itu karena menjaga agar Kak Ghifa dan bapak ibuk nggak kena imbasnya.
ReplyDeleteSaya menuliskan itu karena saya juga melakukannya, haha. Suami saya asalnya gak mau, karena dia selalu pingin ngomong, gak puas kalau belum ngomong. Tapi saya sih (mungkin karena saya suka nulis) terus melakukan. Dan setelah ditumpahkan semua via sms, lega deh. Yang kesian orang lain keleus, masih nggeremet karena belum ngomong, wkwkwkwk.
DeleteTetangga oh tetangga. Saat dari pihak diri sendiri berusaha menjadi tetangga yg tenang dan sopan, tetap aja selalu ada "oknum" yg berperan sebagai tetangga berisik dan menjengkelkan. Mungkin ini masalah balancing aja kali ya?
ReplyDeleteSeperti halnya ada siang ada malam, ada baik ada buruk, ada tetangga masa kini ada tetangga masa gitu? Hahahaa...
Nikmati aja deh.
Life is never flat, Madam.
Noted: Life is never flat. Bagus buat judul blogpost berikutnya, hehe. Makasih idea-nya.
DeleteBener, kaya di jalan, kita udah nyantai jalannya dan patuh aturan, orang yang nyalip seenaknya nyenggol mobil kita. Nah, gitu tuh, tetangga masa gitu banget :D
ha, ha, punya tetangga itu banyak macamnya mulai yang lkebay, nyinyir , tukang gosip dan banyak lagi. Kalau aku sih tetap bertegurs apa dan sopan tapi tak mau terllau akrab, karena malah jadi bergosip ria
ReplyDeleteKenyinyiran maksimal itu ada di mana-mana, memang. Yang penting memang dari kita kepada orang lain. Iya, secukupnya saja. Segala sesuatu yang "terlalu" itu selalu kurang baik, termasuk terlalu akrab.
DeleteTetangga oh tetangga..... Kalau di dunia maya saya harus lebih berhati-hati karena tulisan jadi multitafsir hehe.... Pernah cuman bercanda eh jadi panjang ceritanya, kapok jadinya. Aslinya senang bercanda meski kapok kadang2 masih muncul juga ternyata, ya akhirnya lebih ngerem diri aja :D
ReplyDeleteIya Ida, bahasa tulis itu berbeda dengan bahasa lisan, dan bangsa kita sedari dulu memang lebih suka dengan bahasa lisan (dongeng dan sebagainya) sehingga kurang terbiasa dengan bahasa tulisan. Tidak heran kalau terjadi multitafsir. Selalu harus hati-hati, lihat siapa yang dihadapi, heuheu.
DeleteTetangga sebelah kanan tanaman bunganya menyeruak ke rumah kami, dan tiap hari bikin sampah. Udah ditegor, ya masih ga dipotong juga. Yo wis lah, anggap sebagai penggugur dosa... Jiaaah, malah numpang curhat hihihi...
ReplyDelete