“….kita punya hak untuk bahagia kan madame?”
Pertanyaan yang mengejutkan, nulisnya di time line lagi. Meminta hak! Wow, tanpa saya tahu alasannya, saya merasa bahwa penulisnya menuntut sesuatu. Dan yang dituntutnya adalah kebahagiaan, satu kata yang selalu saya letakkan di atas awan karena “terlalu tinggi”.
Bagi saya, meminta hak selalu berbalik kepada diri sendiri karena ada satu kata pendamping yang menyertainya dan nyaris tak terpisahkan: kewajiban. Maka saya selalu berpikir panjang sebelum menanyakan hak saya, kuatir orang bertanya balik: “kewajibannya sudah dilakukan belum?”.
Nah, itu juga yang muncul di benak saya pada saat membaca pertanyaan di atas. Sudahkah saya membahagiakan orang? Jangan, jangan pakai kata bahagia, disederhanakan saja: sudahkah saya menyenangkan orang? Uf, itu saja rasanya masih sangat jauh, masih banyak kekurangan diri yang harus dibenahi dan diperbaiki, apalagi memberi kebahagiaan kepada orang lain.
Eh tapi, bukannya menggembirakan orang lain itu justru yang membuat kita jadi bahagia? Dan kata siapa membahagiakan orang itu harus dengan hal-hal yang besar?
Coba deh, anda pasti bahagia lihat binar wajah tukang beca yang anda beri uang 10 ribu. Anda bahagia melihat seorang anak menjadi bisa melakukan sesuatu setelah diajari oleh anda atau anda bahagia melihat senyum di wajah ibu anda saat anda bawakan kue kesukaannya. Anda tahu, dengan melakukan hal-hal seperti itu sebetulnya anda sudah membuat orang lain bahagia, yang pada gilirannya juga membuat anda bahagia karenanya.
Kalau kebahagiaan orang lain sesederhana itu, sesungguhnya kebahagiaan anda juga seperti itu. Sangat sederhana.
Pasti anda bilang: “tapi madame, itu sih cuma kegembiraan2 kecil dalam hidup, yang saya maksudkan adalah hubungan antar manusia, kebahagiaan dalam rumah tangga, kok rasanya hidup saya dan suami tidak pernah bahagia, hidup saya penuh dengan airmata…” (meskipun saya bukan cenayang, saya tahu kok masalah anda).
Hmm, saya tahu, seperti juga saya, setiap orang punya impian, punya gambaran kebahagiaan ideal. Tapi kalau hanya itu yang anda sebut sebagai kebahagiaan, kalau itu anda jadikan tujuan yang harus dikejar, percayalah pada saya, anda tidak akan pernah bahagia, dan akan terus merana dalam airmata. Mau??
Kalau saya tidak. Saya lebih suka menyimpan impian itu di tempat terbaik, melakukan usaha untuk merealisasikannya semampu saya, sambil bersenang hati dengan hal-hal kecil di sekitar saya. Mungkin tidak sepadan dengan kebahagiaan yang saya impikan. Tapi paling tidak, itu membuat saya sadar bahwa tidak ada kebahagiaan yang abadi. Lihat saja, kalau pada akhirnya anda berbahagia dengan suami anda, itu juga tidak abadi
Jadi, apakah kita berhak untuk bahagia? Sangat berhak, dan jangan menggantungkan kebahagiaan di tempat yang salah.
Kalau merasa sangat terluka, tarik napas panjang, anda akan merasa lebih lega. Itu juga kebahagiaan lho. Syukuri kebahagiaan anda, sekecil apapun.
No comments:
Post a Comment