Di masa lalu, mbak Desy Ratnasari yang ayu ini terkenal karena ucapannya setiap kali dikonfirmasi wartawan tentang gossip mengenai dirinya: “NO COMMENT”. Kalimat itu yang terkadang malah membuat para wartawan mendongkol sehingga memberinya anugrah gelar “miss No Comment”. Dan Desy Ratnasari tidak berkomentar apapun tentang hal itu, sampai para kuli tinta mengalihkan perhatian mereka kepada artis-artis lainnya yang mungkin lebih meriah dan lebih mau mengungkapkan diri ketimbang si mbak yang satu ini.
Dengan maraknya jejaring sosial sekarang ini, orang semodel mbak Desy tampaknya tidak terlalu diharapkan keberadaannya. Soalnya komentar menjadi sesuatu yang dirindukan oleh banyak orang, ketika status facebook kita dikomentari oleh orang lain, rasanya senang dan merasa dihargai, merasa diperhatikan, atau malah merasa dimanjakan sehingga seringkali membuat orang terlelap dalam zona nyaman. Semakin banyak komentar, si pemilik akun akan semakin senang, karena hal itu membuat orang merasa bahwa dia banyak dikenal orang. Jangankan komentar, banyak yang mengacungkan jempol saja sudah membuai, apalagi kalau ada yang komentar, dan komentarnya memuji pula, hehehe.
Tapi secara pribadi, ada saat-saat dimana saya memilih untuk bersikap seperti mbak Desy Ratnasari, “no comment” itu tadi, dan tentunya hal tersebut saya lakukan bukan tanpa alasan.
Saya tahu, bahasa tulis memang harus digunakan dengan sangat hati-hati. Katanya, inilah alat komunikasi yang paling besar peluangnya untuk disalahartikan. Masih lebih lumayan bahasa lisan, atau justru bahasa tubuh. Gerak-gerik seseorang biasanya sangat memperlihatkan kebenaran, padahal tanpa suara.
Selain alasan di atas, saya memiliki beberapa pengalaman “pahit” terkait bahasa tulisan via sms, e-mail atau apapun yang ujungnya malah membuat “keramaian” ketimbang “perdamaian”, hanya karena si penerima salah memahami maksud saya. Situasi seperti itu sangat tidak menyenangkan. Coba bayangkan, terkadang saya bermaksud A, lalu mengirim pesan singkat kepada seseorang, kemudian dipahami sebagai X, yang berkebalikan dengan maksud saya. Maka, ceritanya bisa jadi cerita film semacam drama atau bahkan action, dengan keributan panjang, sebelum akhirnya saling mengerti dan memahami maksud masing-masing. Wasting time.
Eh tapi, bukannya sebagai orang timur kita harus saling menyapa untuk menjaga sopan santun? Bukannya orang Indonesia terkenal dengan keramahannya, dan komentar di jejaring sosial bisa mewakili hal-hal tersebut?
Iya sih, itu betul dan benar sekali. Bersikap baik dan bersilaturahmi memang wajib hukumnya. Tapi kata siapa komentar itu selalu baik? Ada yang iseng, ada yang basa basi, ada yang memprovokasi, meski besar juga peluangnya untuk yang memang tulus dari hati.
Kalau komentar saya malah membuat jadi tidak karuan, lebih baik saya tidak berkomentar apa pun. Apalagi kalau hanya untuk berbasa-basi. Bukankah itu artinya kita memakai topeng sepanjang masa? Bagaimana kalau komentarnya ditujukan agar semua orang menilai kita hebat? Itu lebih “wow” lagi, ada udang dibalik bakwan, menulis komentar untuk membuat seluruh dunia terpesona dan terkagum-kagum.
Ternyata berkomentar di jejaring sosial harus berhati-hati juga. Harus menyaring mana yang memang perlu dikomentari, dengan meluruskan niat dan tujuan. Sebetulnya kan dunia maya tak ada bedanya dengan dunia nyata, aplikasinya persis sama. Jadi ya mesti diterapkan juga tuh di dunia maya: “Bicara baik, atau diam sama sekali”.
Jadi mbak Desy Ratnasari yang baik, kalau saya mengatakan “No comment” seperti Anda,, saya bukan nyontek lho, cuma terinspirasi oleh ucapan anda yang sering dilansir media. Sesekali oke dong saya pinjam ucapan anda, sebagai reminder bagi diri saya sendiri. Terima kasih ya mbak.
No comments:
Post a Comment