Pagi tadi seorang teman menulis status di media sosial. Ini dia tulisan mbak Elmi Wiarti:
..mengenang ibu kartini bukan sebatas kebaya, thok lho ya.
di musium kartini di jepara dipajang berbagai karya tangan bu kartini. tulisan, rajutan, sulaman,dll. dari situ kelihatan ketekunan dan kegigihan.
belum lagi tentang perjuangannya mengangkat citra perempuan jaman itu.
perempuan itu ternyata sebaiknya mumpuni.
matur nuwun bu kartini.
Dan tulisan itu sukses melontarkan saya ke masa lalu, kepada seseorang yang saya cintai : ibunda.
Ini adalah hari Kartini, hari yang selalu mengingatkan saya pada almarhumah ibu saya. Bagi saya, dialah ibu Kartini sejati, karena nama aslinya memang Ietje Kartini, dan setelah menikah dipanggil Ibu Siregar.
Bukan hanya karena namanya Kartini maka dia menjadi sosok ibu hebat setara RA Kartini bagi saya. Tapi lebih dari itu adalah karena semua sikap, tingkah laku, hasil karya, hasil jerih payah, seluruh teladan, yang ditinggalkannya dalam bentuk kenangan.
Ibu saya adalah perempuan biasa, lulusan Sekolah Kepandaian Putri entah tahun berapa. Tapi sekolah jaman dulu, memang selalu saya yakini, selalu memberikan pendidikan yang sangat baik kepada murid-muridnya. Lha itu, lulusan SKP, pandai masak, pandai merajut, pandai menjahit bahkan membordir dan menyulam, pandai menata rumah pula.
Oh mungkin semua itu dipelajari secara alamiah setelah menikah oleh setiap perempuan.Oh mungkin itu bakat alam, yang tidak dimiliki setiap orang, ketertarikan orang ‘kan lain-lain.
Kayanya sih tidak. Komentar di atas itu benar adanya, tapi saya percaya, dasar keterampilan ibu saya diperoleh di sekolah. Berarti sekolahnya bagus, karena mengajarkan untuk jadi terampil, bukan hanya mengajarkan teori, atau yang lebih memprihatinkan: hanya memberi buku, atau menyuruh murid mencari sendiri di dunia maya.
Selanjutnya, setelah menikah di usia yang belum mencapai 20 tahun, sepanjang pengetahuan saya, ibu saya menerapkan ilmu yang didapatnya itu dalam seluruh kehidupan keseharian.
Ketika saya kecil, ibu saya pernah menjadi “modiste”, menerima jasa menjahit di rumah, dan saya senang bermain di kaki mesin jahit, memutar-mutar baut atau sekrup sehingga menjadi loss dan membuat jalan mesin terhambat. Atau memutar-mutar roda mesin jahit sehingga benangnya jadi kusut. Eh, kok saya nakal banget ya?
Saya mengalami masa dimana saya dan kakak saya masing-masing mempunyai 7 baju lebaran. Semuanya dijahit oleh ibu saya sendiri, bahkan mukena juga dijahit oleh ibu saya, sarung bantal juga, seprei juga. Pokoknya selain menerima jahitan, dia menjahit berbagai barang dari bahan-bahan yang ada di rumah.
Selain menjahit, dia juga rajin mencoba berbagai resep dari buku “Pandai Masak”. Itu buku kuno yang resepnya enak-enak, gambar depannya (gambar, bukan foto) perempuan mengenakan celemek dengan rambut keriting pendek, mirip Snow White di komik kartun, seperti Audrey Hepburn, mungkin.
Mesin jahit dan buku-buku resep ibunda itu sampai sekarang masih ada, di rumah saya. Mesinnya bertuliskan “soedah dibajar loenas”. Dijamin, usia mesin djahit itoe lebih tua dari saya, karena saya tahu, ibu saya juga menjahit pakaian abang-abang saya sedari mereka kecil dulu.
Saya tidak bisa tidak mengagumi ibu saya. Setiap kali saya datang ke rumahnya, ada saja yang sedang dilakukannya, menata rumah, memindahkan lemari ke sana, kursi ke sini (tentu dibantu oleh No, tukang kebun yang bekerja di rumah ibu saya selama hampir 20 tahun), membaca koran Bintang (ibu saya suka membaca berita tentang artis, haha), melihat-lihat modeblad atau mengatur menu sambil melihat-lihat resep.
Iya sih, ketika dia semakin tua, bukan dia lagi yang memasak atau menata ruangan, tapi tetap saja, idenya dari ibu saya, manajernya tetap ibu saya, lalu dia mendelegasikannya kepada orang lain, si mbak yang masak, dan tukang kebun.
Saya nyaris tidak percaya, sekitar 5 tahun sebelum ibu saya wafat -berarti usianya sekitar 76 tahun- dia masih menyulam taplak kecil, untuk diberikannya sebagai hadiah ulang tahun untuk putri bungsunya: saya.
Dialah yang setiap menjelang lebaran menyiapkan rendang daging dan puluhan ketupat ketan di rumah, dengan waktu masak berjam-jam sampai tengah malam.
Bagaimana saya tidak menyetarakannya dengan ibu RA Kartini? Seluruh karyanya, seluruh buku resepnya, motif-motif bordir yang dijiplaknya sendiri memakai kertas minyak, kartu pos yang dikirimnya dari Timur Tengah dan Eropa, ucapan-ucapan ulang tahun yang tak pernah dilupakannya kepada anak-anaknya, mesin jahit kunonya, masih saya simpan sampai sekarang, sebagai bukti bahwa dia perempuan hebat, bagi anak-anaknya, bagi saya. Dialah yang mengajari saya bahwa rumah adalah istana, adalah tempat yang paling menyenangkan sedunia, tempat dimana seorang perempuan bisa jadi ratu yang sangat kreatif.
Ibu saya itu ibu rumah tangga biasa, sangat biasa, tidak pernah bekerja di kantor seperti saya. Dia tidak paham medsos, tidak mengerti bahwa media sosial bisa membuat sulaman tangannya jadi terkenal, bisa membuat makanan buatannya dikenal semua orang. Dia tidak mengerti cara kerja ponsel, bahkan ketika dibelikan ponsel beberapa tahun sebelum wafat, dia sering bilang: “Nanti ajarin mami ya, mami nggak ngerti makenya….”
Ibu Kartini adalah ibu saya, ibu yang melakukan semua tugas rumah tangga dengan senang hati, yang menganggap pandai menjahit dan memasak adalah hal yang biasa bagi seorang perempuan, bukan prestasi luar biasa yang harus dikatakan kepada orang lain atau harus dihindari karena itu hal yang sangat sulit dilakukan. Biasa saja, dijalani saja, dengan senyum dan senang hati, dan semuanya akan bisa dilakukan, dengan sederhana.
Hari ini hari Kartini, dan saya merindukan ibu saya.
No comments:
Post a Comment