Mak Umin lagi. Iya, tempat yang disebut Warung Em Yu oleh penggemarnya. Tak pernah tidak, setiap kali saya melintas daerah itu, selalu ingat mak Umin, dan almarhum mang Umin, suaminya. Saya selalu rindu untuk berbelok ke sana, ke warung nasi sederhana yang "murahnya keterlaluan" itu. Saya tahu kok, saya ke sana bukan hanya karena lapar dan ingin makan, tapi ingin melihat mak Umin menyendokkan nasi ke piring, lalu bertanya : "bade sareng naon?" (mau pakai apa?). Saya senang melihatnya sibuk melayani orang-orang yang datang. Dulu, saya juga senang melihat mang Umin sibuk membantu istrinya, dan tertawa lebar setiap kali melihat saya datang. "Damang neng? Sing sarehat saterasna ah...." (sehat neng? semoga sehat terus ya).
Barangkali wajah mang Umin yang sumringah itu yang membuat saya seringkali rindu untuk datang ke warungnya. Atau mungkin kesibukan mak Umin yang selalu membuat saya iri. Sibuk sungguhan, sibuk bekerja dengan tangannya yang tak pernah menyentuh gadget karena memang tak terbeli, sibuk supaya bisa terus berjualan agar hidup bisa terus berlanjut.
Saya iri melihat wajah mang Umin yang selalu tersenyum, tak ada keluh kesah akan nasib dan kehidupannya. Dengan santai, ia duduk di samping saya dan bercerita tentang 10 orang anaknya, tentang pekerjaannya dulu sebagai tukang becak, sampai akhirnya membuka warung nasi dengan istrinya.
Saya lupa. Entah tahun lalu atau dua tahun lalu, saya ke warung mang Umin setelah lebaran, dan mendengar bahwa beliau sudah wafat. Sedih. Dan seperti seringkali terjadi ketika mendengar seseorang wafat, saya menyesal. Menyesal, karena saya belum jadi mencetak fotonya yang saya ambil entah kapan. Saya hanya sempat memperlihatkan padanya pada saat foto itu diambil, masih di kamera saya. Ingat kok, saat itu mang Umin tersenyum lebar, dan segera memamerkan foto itu pada istrinya. "Bisa kitu nya...." (kok bisa gitu ya....), katanya.
Barangkali keluguan dan kesederhanaan pemilik warung itu yang membuat saya selalu rindu untuk kembali ke sana, makan nasi dengan ikan mas goreng dan sambal, lalu minum segelas teh manis hangat (asli segelas, bukan secangkir). Saya gemar duduk santai minum teh, di rumah, di kafe, dan juga di warung mak Umin. Menurut saya sama saja kok enaknya. Di tempat-tempat lain, karena saya menikmati waktu saya, dan di warung mak Umin karena saya merasa begitu lekat dengan sesuatu yang menyenangkan dan membahagiakan, namanya kesederhanaan dan rasa syukur.
Oh ya, saya nyaris lupa, seperti yang sering dituliskan pada catatan tentang resto sana sini, semestinya saya juga menuliskannya tentang warung Em Yu, warung mak Umin :)
Tempatnya di kolong jembatan Pasupati, tepat di belakang taman Jomblo, bersisian dengan Baltos. Buka dari pagi banget sampai sore. Yang makan di sana: mahasiswa, tukang parkir, tukang beca, bapak-bapak yang dulu sering makan di situ ketika masih berstatus mahasiswa, dan saya. Kayanya sih gak ada yang datang ke sana naik mobil :)
No comments:
Post a Comment