Wednesday, November 16, 2016
Ramah Tamah
Saya naik angkot, duduk di depan 2 orang ibu yang baru saja berkenalan karena ibu yang satu memberi tempat duduk kepada ibu lainnya. Sepanjang jalan mereka bercakap-cakap, saling memberi info pekerjaan masing-masing, bercerita tentang anak-anak. Ibu yang satu bahkan memperlihatkan foto putrinya di ponselnya, dan bercerita bahwa putrinya itu sudah dilamar oleh seorang dokter. Wow.
Saya? Karena saya duduk tepat di depan mereka, maka saya jadi mendengar pembicaraan mereka.
Di mana pun, saya selalu senang mengamati sikap dan perilaku orang. Hal itu selalu menambah wawasan dan pengetahuan saya tentang ragam manusia. Paling tidak, saya jadi tahu, betapa ajaibnya manusia, ada yang cengeng, ada yang ramai, ada yang tenang, ada yang penggembira, pemarah, penyedih, dan ramah tamah. Itu semua kan memperkaya khasanah pengetahuan saya, dan mudah-mudahan juga bisa membuat saya lebih mawas diri dan bijaksana dalam bersikap.
Kembali kepada kedua ibu tadi, ramah tamah, nah itu dia.
Saya selalu terpesona dengan orang yang ramah tamah. Seperti ibu-ibu yang saya ceritakan tadi. Mengagumkan lho, di dalam angkot, dalam waktu tidak sampai setengah jam, tanpa berkenalan dan tahu nama, beliau-beliau ini bisa bercerita tentang diri masing-masing, anak-anak, keluarga, tetangga, calon menantu, dan sebagainya.
Kalau saya? Waah, sulit sekali bagi saya untuk membuka diri sedemikian. Kalau di angkot, ya duduk manis di pojokan, menggeser duduk, memberi tempat pada "pendatang baru". Sudah. Paling-paling ketika turun, lantas bilang "mangga tipayun" (mari, duluan). Itu sudah top.
Mungkin karena saya tipe melankolis sempurna, dan bukan sanguin. Mungkin karena saya introvert. Mungkin karena saya individualistis dan kelewat tidak perduli dengan sekitar. Saya cuma mencoba merasakan bahwa tidak semua orang nyaman dengan keramahan dan keakraban di awal pertemuan dengan seseorang. Ada orang yang suka, tapi bukan tak mungkin, ada juga yang merasa terganggu.
Nah itu. Di tempat umum, dengan orang yang sama sekali tidak dikenal, mungkin ada baiknya menimbang, apakah akan bersikap sangat karib dan membuka diri, atau justru menjaga ucapan, secukupnya saja.
Ah saya jadi ingat, kalau naik kereta Parahyangan, orang di sebelah saya kadang bertanya: "ke Jakarta mbak?", pertanyaan standar untuk membuka pembicaraan. Dan saya melongo. Lho, bukannya sudah jelas ya arah tujuan kereta tersebut?
Dan saya hanya menjawab: "Iya."
Sudah, tamat deh percakapan, sampai Jakarta. Hehehe.
Ck, kelihatannya saya memang nggak ramah tamah. Demikianlah.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment