Tante Sonya itu murid saya. Di kelas, dialah yang berusia paling sepuh. Penghuni kelas lainnya adalah mahasiswa, atau pelajar SMA, sementara tante Sonya? Lha, saya saja memanggilnya tante. Kemungkinan sekarang ini usianya sekitar tujuhpuluhan. Saya mengajarnya sekitar 10 atau 15 tahun lalu. Berarti ketika itu beliau berusia dua atau tiga kali lipat usia murid lainnya. Tapi kerajinannya masuk kelas juga punya perbandingan yang sama. Dibanding dengan teman-teman sekelasnya, beliaulah yang paling rajin, selalu hadir, tak pernah sekali pun absennya kosong. Ketika teman-temannya sudah berhenti kursus, tante Sonya terus melanjutkan ke level berikutnya (umumnya, kalau tak sangat membutuhkan untuk pergi ke Perancis, orang hanya tahan belajar bahasa Perancis paling lama setahun, atau malah hanya 4 bulan). Pada akhirnya, setelah 2 tahun lebih, beliau berhenti belajar, bukan atas keinginannya sendiri,, tapi karena kelas lanjutan itu tak dibuka lagi karena kekurangan murid. Terakhir, beliau menyelesaikan level 3, sudah bisa ngobrol dalam bahasa Perancis.
Kalau jeda kenaikan kelas, tante Sonya pergi jalan-jalan ke luar negeri, dan membawa setumpuk postcard untuk saya ketika masuk kembali, karena beliau tahu bahwa saya mengoleksi postcard.
Entah berapa lama setelah beliau berhenti belajar, saya bertemu lagi dengan beliau. Di jalan? Bukan, di kolam renang. Ternyata secara teratur beliau berenang, minimal dua kali seminggu. Pantas saja beliau selalu tampak sehat.
Di waktu lainnya, sekian waktu kemudian, saya melihatnya berjalan kaki sendirian di sekitar pasar baru di Bandung. Saya menyengaja berhenti untuk menyapa beliau. Dan karena sejak lama saya senang mengamati gaya hidupnya yang asik, maka saya meminta kontak ponselnya agar saya mudah menemuinya lagi. Mau tahu apa jawabnya? "Oh, saya gak punya ponsel tuh, ntar kalau saya lagi berenang, ada yang nelpon, saya jadi gak konsentrasi, hahaha. Kalau mau kontak, ke nomer telpon rumah saja."
Ck, satu point lagi untuk tante Sonya. Hari gini, ketika semua orang senyum sendiri dengan ponselnya dan tak perduli sekitar, ketika semua orang berkonsentrasi pada ratusan teman yang tersebar entah dimana, tante Sonya memilih untuk berkonsentrasi pada langkah kakinya setelah turun dari angkot yang membawanya kemana-mana, beliau memilih untuk melihat sekitarnya ketimbang menatap layar ponsel sentuh atau menunggu dengan tak sabar balasan BBM dari teman.
Dan setiap kali bertemu, dimana pun, tante Sonya tak tampak minder atau tak percaya diri karena "tak update". Santai saja. Di masa tua, masih ikut kursus, belajar ilmu baru, jalan-jalan ke luar negeri ataupun hanya sekadar ke pasar. Saya juga tahu, tante Sonya senang membaca buku. Hmm. Hidup yang penuh, meski barangkali tak tersentuh oleh kemodernan. Setiap orang punya prioritas yang berbeda. Saya bukan gurunya tante Sonya, beliaulah guru saya, meski tak pernah secara formal mengajar saya di kelas.
Dari siapa pun yang kita kenal, selalu ada sesuatu yang bisa dipelajari.
No comments:
Post a Comment